Fenomena yang semakin sering terdengar di kalangan masyarakat adalah banyaknya lulusan sekolah atau kampus yang ternyata tidak siap menghadapi dunia kerja. neymar88 Gelar sudah di tangan, ijazah sudah diraih, tapi saat masuk ke dunia nyata, mereka bingung harus melakukan apa. Tidak sedikit yang kesulitan mencari pekerjaan, tidak paham keterampilan praktis, bahkan merasa asing dengan dunia di luar buku pelajaran. Lalu, muncul pertanyaan yang sering jadi perdebatan: apakah ini kesalahan sistem pendidikan atau kesalahan siswanya sendiri?
Sistem Pendidikan yang Terlalu Fokus Teori
Salah satu penyebab utama munculnya “lulus tapi nggak bisa ngapa-ngapain” adalah sistem pendidikan yang terlalu menitikberatkan pada teori. Dari SD hingga perguruan tinggi, pelajaran sering kali berputar pada hafalan rumus, penguasaan materi akademis, dan pencapaian nilai. Padahal, dunia kerja jarang menanyakan kapan Perang Dunia I dimulai atau cara mengerjakan integral parsial.
Hal yang dibutuhkan di dunia nyata adalah kemampuan berpikir kritis, komunikasi yang baik, kerja sama tim, pengambilan keputusan, dan keterampilan teknis. Sayangnya, banyak kurikulum belum memberi porsi yang cukup besar pada pengembangan keterampilan ini. Hasilnya, lulusan banyak yang cerdas secara teori, tapi gagap saat harus menghadapi tantangan praktis.
Siswa yang Terbiasa Menunggu Disuapi
Namun, menyalahkan sistem sepenuhnya juga tidak adil. Siswa juga punya andil dalam membentuk diri mereka sendiri. Banyak siswa yang terlalu nyaman dengan pola belajar pasif—hanya mengikuti arahan guru, menghafal materi untuk ujian, dan mengejar nilai tanpa rasa ingin tahu yang mendalam. Kebiasaan “yang penting lulus” membuat mereka kurang terlatih untuk berpikir mandiri atau mencari solusi di luar buku teks.
Di dunia kerja, kemampuan inisiatif, kreativitas, dan keinginan untuk terus belajar sangat dibutuhkan. Ketika siswa terbiasa menunggu instruksi, mereka akan kesulitan menyesuaikan diri dengan dunia yang menuntut proaktivitas.
Kesenjangan antara Dunia Pendidikan dan Dunia Nyata
Psikolog pendidikan juga menyoroti adanya kesenjangan yang lebar antara dunia pendidikan dan kebutuhan dunia kerja. Banyak materi pelajaran tidak relevan dengan kenyataan lapangan. Misalnya, lulusan jurusan tertentu tidak dibekali keterampilan praktis seperti membuat laporan, menggunakan perangkat lunak terkait industri, atau menghadapi klien.
Selain itu, budaya magang dan pengalaman praktik seringkali hanya formalitas. Alih-alih memberikan bekal nyata, magang hanya sekadar mengisi waktu tanpa tantangan yang berarti. Akibatnya, lulusan tidak punya pengalaman riil saat memasuki dunia profesional.
Peran Keluarga yang Kadang Terabaikan
Lingkungan keluarga juga punya pengaruh besar. Pola asuh yang terlalu menuntut prestasi akademik tanpa memperhatikan perkembangan karakter bisa membuat anak-anak hanya terpaku pada nilai, bukan keterampilan hidup. Anak didorong untuk juara kelas, tapi tidak pernah diajari cara berpikir mandiri, mengatur emosi, atau membangun relasi sosial yang sehat.
Padahal, di dunia kerja, kemampuan berkomunikasi, manajemen diri, dan kerja sama jauh lebih penting dibandingkan hafalan akademik semata.
Perluasan Makna “Pendidikan” yang Sebenarnya
Pendidikan seharusnya bukan sekadar tentang lulus ujian atau mendapatkan ijazah. Pendidikan adalah proses mempersiapkan individu untuk mampu bertahan hidup dan berkontribusi secara positif di masyarakat. Sayangnya, fokus pendidikan seringkali hanya soal menyelesaikan kurikulum tanpa memberikan bekal keterampilan hidup.
Bukan hanya tentang siapa yang salah, tapi bagaimana semua pihak berperan. Sekolah harus lebih adaptif terhadap kebutuhan dunia nyata, siswa harus aktif mencari pengalaman di luar kelas, dan keluarga harus mendukung pengembangan karakter serta soft skill anak.
Kesimpulan
Fenomena “lulus tapi nggak bisa ngapa-ngapain” bukan kesalahan satu pihak saja. Sistem pendidikan yang terlalu fokus pada teori, kebiasaan siswa yang pasif, kurangnya pengalaman praktis, serta pengaruh lingkungan keluarga semuanya saling berkaitan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan hanya soal nilai akademis, melainkan tentang membentuk manusia yang cakap secara pengetahuan, keterampilan, dan karakter. Jika sistem dan siswa sama-sama berbenah, fenomena ini perlahan bisa berubah.