Selama belasan tahun duduk di bangku sekolah, mayoritas siswa menjalani proses belajar dengan kurikulum yang sudah disusun oleh orang dewasa: pemerintah, pakar pendidikan, atau lembaga pengatur akademik. neymar88 Materi sudah ditentukan, ujian sudah dijadwalkan, bahkan cara mengerjakan tugas pun seringkali sudah diatur. Tapi di tengah sistem yang begitu kaku, muncul pertanyaan mendasar: kenapa kurikulum tidak pernah bertanya pada siswa, “apa yang sebenarnya ingin kamu pelajari?”
Sistem Pendidikan yang Top-Down
Mayoritas kurikulum pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia, dibentuk dengan pendekatan top-down. Artinya, seluruh materi ditentukan oleh pihak di luar kelas tanpa melibatkan siswa dalam proses pengambilan keputusan. Sekolah menjadi tempat siswa “menerima” informasi, bukan ruang bagi mereka untuk memilih arah belajar.
Pendekatan ini membuat sistem pendidikan terasa kaku dan seragam. Siswa yang punya ketertarikan di bidang tertentu seringkali merasa terjebak dalam pelajaran-pelajaran yang tidak mereka minati. Akibatnya, banyak yang merasa sekolah adalah beban, bukan ruang eksplorasi.
Fokus pada Standarisasi, Mengabaikan Keunikan
Salah satu alasan kurikulum bersifat seragam adalah demi menjaga standar pendidikan nasional. Namun dalam prosesnya, pendidikan sering mengabaikan kenyataan bahwa setiap anak itu unik. Mereka memiliki gaya belajar, bakat, serta minat yang berbeda-beda.
Ketika semua anak dipaksa belajar hal yang sama, pada waktu yang sama, dengan cara yang sama, potensi unik masing-masing anak sering tidak muncul ke permukaan. Siswa yang jago di bidang seni, olahraga, teknologi, atau keterampilan sosial bisa merasa gagal hanya karena tidak unggul di pelajaran akademis standar.
Dampak Psikologis: Belajar Jadi Beban, Bukan Kesenangan
Ketika minat anak tidak menjadi bagian dari proses pembelajaran, sekolah sering berubah menjadi tempat tekanan, bukan ruang pengembangan diri. Banyak siswa kehilangan rasa ingin tahu karena terus-menerus belajar hal yang tidak sesuai dengan ketertarikan mereka.
Tidak jarang muncul fenomena stres sekolah, burnout, hingga putus sekolah karena siswa merasa tidak menemukan “ruang” untuk diri mereka di sistem pendidikan formal. Pelajaran menjadi kewajiban, bukan kesenangan.
Kurikulum yang Tidak Relevan dengan Kebutuhan Masa Depan
Di era dunia kerja yang semakin dinamis, banyak lulusan merasa apa yang dipelajari selama sekolah tidak sesuai dengan realitas dunia kerja. Pendidikan formal banyak menghabiskan waktu untuk teori, tetapi minim pelajaran tentang manajemen keuangan, literasi digital, pengembangan karier, hingga keterampilan komunikasi.
Fenomena ini semakin mempertegas ketimpangan antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang benar-benar dibutuhkan siswa untuk menghadapi kehidupan setelah lulus.
Adakah Kurikulum yang Tanya Minat Siswa?
Beberapa negara dan sekolah mulai bereksperimen dengan pendekatan kurikulum berbasis minat. Model ini memberi ruang bagi siswa memilih mata pelajaran tambahan sesuai minatnya, atau bahkan menyusun proyek mandiri. Di sistem pendidikan yang lebih fleksibel, siswa bisa mengambil jalur seni, olahraga, bisnis, teknologi, atau akademik sesuai passion.
Pendekatan seperti ini membuat anak lebih terlibat aktif dalam proses belajar, meningkatkan motivasi, dan membantu mereka mengenali minat serta bakat sejak dini.
Sekolah Bisa Jadi Tempat Belajar, Bukan Sekadar Tempat Menghafal
Dengan sistem yang memberi ruang untuk minat siswa, sekolah tidak lagi hanya tentang ujian dan nilai. Sekolah bisa menjadi tempat anak merasa dihargai atas keunikan mereka, menemukan potensi diri, serta mengembangkan keterampilan yang benar-benar berguna di masa depan.
Di masa depan, pertanyaan “apa yang kamu ingin pelajari?” seharusnya menjadi hal wajib dalam penyusunan kurikulum. Karena pendidikan bukan hanya menyiapkan siswa untuk lulus ujian, tapi membentuk manusia utuh yang tahu arah hidupnya.
Kesimpulan
Kurikulum selama ini jarang menanyakan minat dan keinginan belajar siswa. Sistem pendidikan yang terlalu seragam berisiko mengabaikan bakat unik setiap anak. Mengubah pendekatan menjadi lebih fleksibel, memberi ruang bagi eksplorasi minat, serta menyesuaikan pembelajaran dengan kebutuhan masa depan adalah langkah penting agar pendidikan lebih bermakna. Karena pada akhirnya, tujuan pendidikan bukan hanya mencetak lulusan, tetapi membentuk manusia yang utuh dan siap menjalani hidupnya dengan percaya diri.