Kenapa Pelajaran Finansial Nggak Pernah Masuk Kurikulum? Padahal Krusial!

Pernah nggak kamu mikir, kenapa sih sejak SD sampai lulus kuliah, kita bisa hafal rumus luas trapesium, tapi nggak pernah diajarin cara ngatur uang? Padahal, setelah lulus sekolah, tantangan hidup nggak pernah tanya soal matematika integral, tapi lebih sering soal “gimana caranya bayar tagihan tiap bulan”. neymar88 Pertanyaan ini makin sering muncul di kalangan generasi muda yang sadar bahwa pelajaran finansial itu sebenarnya krusial, tapi kenapa ya nggak pernah masuk kurikulum resmi?

Fokus Pendidikan Masih Terjebak di “Akademis”

Salah satu alasan utama kenapa pelajaran finansial nggak diajarkan sejak dini adalah karena sistem pendidikan kita masih sangat akademis. Tolok ukur kesuksesan sekolah seringkali hanya berdasarkan nilai rapor, ujian nasional, dan ranking kelas. Pelajaran yang dinilai penting adalah yang bisa diujikan: Matematika, Bahasa, IPA, IPS. Sementara topik seperti manajemen keuangan pribadi sering dianggap “nggak penting” karena tidak ada standar ujiannya.

Padahal, kenyataannya, banyak orang setelah lulus sekolah bingung menghadapi kehidupan nyata. Mulai dari mengelola gaji pertama, mengatur pengeluaran, menabung, bahkan menghadapi utang. Hal-hal seperti ini nggak pernah diajarkan, sehingga banyak orang belajar dengan cara paling mahal: lewat kesalahan.

Miskonsepsi: Ngatur Uang Itu Urusan Orang Kaya

Ada juga budaya di masyarakat yang menganggap pelajaran finansial hanya buat orang kaya atau pebisnis. Seolah-olah, kalau penghasilan masih kecil, nggak perlu belajar ngatur uang. Ini salah kaprah besar. Justru penghasilan kecil harus lebih pandai dikelola, karena kesalahan kecil bisa berdampak besar. Sayangnya, mindset ini ikut terbawa ke dalam sistem pendidikan. Hasilnya? Anak-anak diajari fisika, tapi nggak diajari cara bikin anggaran sederhana.

Minimnya Guru yang Siap Mengajar

Faktor lain adalah keterbatasan sumber daya. Mengajarkan literasi keuangan butuh guru yang memang paham tentang finansial pribadi. Sayangnya, banyak tenaga pengajar pun belum mendapatkan pelatihan soal pengelolaan uang yang baik. Bagaimana guru bisa mengajarkan hal yang tidak pernah mereka pelajari secara formal? Akhirnya, materi keuangan pribadi jadi topik yang dilewatkan begitu saja.

Ketakutan Sistemik Akan “Kapitalisme Terlalu Dini”

Ada juga kekhawatiran dari sebagian kalangan bahwa mengajarkan finansial terlalu dini bisa “meracuni” anak-anak dengan pola pikir kapitalis. Takutnya, anak-anak jadi hanya mengejar uang dan materialisme. Padahal, literasi keuangan nggak selalu soal kaya raya. Justru literasi keuangan mengajarkan tentang bijak menggunakan uang, menabung, investasi sehat, dan hidup sederhana tanpa terlilit utang konsumtif.

Realita: Semua Orang Pasti Berhubungan dengan Uang

Yang sering dilupakan, semua orang tanpa kecuali pasti berhubungan dengan uang. Nggak peduli profesinya apa, latar belakangnya apa, semua orang harus bisa mengatur pemasukan dan pengeluaran. Bahkan, banyak krisis mental seperti stres, depresi, dan masalah rumah tangga seringkali bermula dari masalah keuangan yang nggak sehat. Ironisnya, sistem pendidikan justru abai terhadap kebutuhan paling dasar ini.

Saatnya Literasi Finansial Masuk Kurikulum

Banyak negara mulai menyadari pentingnya pendidikan finansial sejak dini. Di beberapa negara maju, pelajaran finansial sudah mulai dikenalkan sejak sekolah dasar, dari cara menabung, memahami kebutuhan vs keinginan, hingga mengenal investasi secara sederhana. Di Indonesia, upaya ini masih terbatas dalam bentuk seminar atau program ekstrakurikuler yang tidak wajib.

Padahal, sudah waktunya pendidikan finansial menjadi bagian dari kurikulum inti. Karena mengelola uang adalah skill hidup yang harus dimiliki semua orang. Anak-anak harus tahu cara mengatur uang jajan, remaja harus paham bagaimana menabung untuk masa depan, dan mahasiswa harus mengerti cara menghindari jeratan utang konsumtif.

Kesimpulan

Pelajaran finansial mungkin belum masuk kurikulum karena berbagai alasan: fokus pendidikan yang terlalu akademis, budaya yang keliru, keterbatasan guru, dan ketakutan salah kaprah tentang uang. Namun, faktanya, kemampuan mengelola keuangan jauh lebih penting dari sekadar hafalan teori yang sering kita lupakan. Di dunia nyata, kemampuan finansial adalah fondasi untuk hidup yang stabil dan sehat secara mental. Saatnya pendidikan kita membuka mata: literasi finansial bukan tambahan, tapi kebutuhan mendesak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *